Adu Bagong : Tradisi atau Kekerasan ?

(1 of 1)-4

adu bagong 1

DSC_0117

(1 of 1)-5

DSC_0317

DSC_0255


Adu Bagong : Tradisi atau kekerasan ?

Babi itu akhirnya roboh, tubuhnya hancur tercincang, darahnya mengalir menyatu dengan air genangan lumpur, namun tiga ekor anjing itu terus menancapkan taringnya. Di luar arena, puluhan orang bersorak, bertepuk, dan beberapa tersenyum puas. Babi, bagi mereka, adalah mahluk perusak yang seharusnya memang mati.

Peristiwa tersebut terjadi dalam tradisi Adu Bagong, sebuah tradisi rutin masyarakat di Desa Kebon Pala, Sumedang, Jawa Barat. Hampir setiap pekan di desa ini digelar Adu Bagong. Adu Bagong adalah sebuah tradisi dimana seekor babi dimasukan ke dalam arena tanah lapang dengan pagar yang dikelilingi pagar anyaman bambu- lalu diadu dengan 2 hingga 4 ekor anjing.

Tradisi ini barangkali terlihat sangat sadis bagi Pendatang yang baru sekali melihatnya, sedikitnya mereka mengasihani nasib babi yang malang itu. Tapi penduduk desa tak peduli karena pembantaian bagong, sebutan penduduk setempat untuk babi, sudah ratusan kali mereka lihat. Mereka sudah sangat benci terhadap babi karena Sekitar 1960-an, ditempat tersebut, babi-babi hutan kerap merusak sawah dan kebun. Para petani pun marah. Kemudian Mereka melatih sejumlah anjing untuk memburu babi-babi tersebut. Babi yang tertangkap tak langsung dibunuh, namun dibawa ke kampung untuk diadu dengan anjing. Kata 'diadu' disini sebenarnya lebih bermakna dibantai. Karena babi yang malang itu mati dimangsa nyaris tanpa perlawanan.

Meskipun atraksi ini sarat akan kekerasan dan ditentang oleh sejumlah kalangan, terutama penyayang binatang, namun para pecinta adu bagong tetap mempertahankan atraksi ini. Karena menurut mereka ini sudah menjadi budaya dan hiburan, bukan kekerasan.

Tradisi seperti ini, yang menyelipkan kekerasan dan membalutnya dengan kedok budaya, banyak terjadi di negeri ini. Sabung ayam di Bali dan Karapan sapi di Madura , misalnya. Ini mengkhawatirkan. Bukan saja karena sadisme tak layak jadi tontonan, apalagi jadi tradisi, tapi juga membuat kita menganggap wajar apa yang sebenarnya sadis.

0 komentar:

Posting Komentar